Jumat, 04 September 2020

16 TERUS TERANG TAK SELALU TERANG TERUS

 

16 TERUS TERANG TAK SELALU TERANG TERUS[1][2][3]

 

(Hal-46) Benar keterusterangan atau keterbukaan (self disclosure) adalah modal penting dalam membangun hubungan antarpersona. Setidaknya itulah kesimpulan para teorisi psikologi maupun komunikasi. Jika seseorang membuka diri, teman komunikasinya akan melakukan yang sama. Semakin terbuka, makin hangat dan akrab. Tapi ceritanya menjadi lain jika keterbukaan ini kebablasan. Jika keterusterangan berarti membuka segalanya, bahkan termasuk aib sekalipun.



Ada gejala salah kaprah dalam memaknai keterusterangan, setidaknya bagi sebagian orang. ‘Terusterang’ dimaknai menceritakan apa saja yang dilakukan atau dirasakannya pada orang-orang tertentu. Bahkan ada perasaan mulia untuk melakukannya, terutama pada pasangannya. Alkisah, sepasang suami istri membuat komitmen bersama untuk jujur, menceritakan segala tindakan yang pernah dilakukan meski itu sebuah keburukan, termasuk masa lalu sebelum mereka menikah. Awalnya mereka membanggakan tradisi itu:”Kami adalah pasangan yang paling fair di dunia ini.” Anehnya seiring dengan perjalanan waktu, hubungan mereka bukan tambah hangat, tetapi sebaliknya. Deretan aib yang mereka beberkan satu sama lain pada akhirnya menjadi ganjalan hubungan itu.

Ini bukan ajaran untuk berbohong, tetapi seni mengendalikan omongan. Ada bagian yang harus disampaikan, tetapi ada juga bagian yang lebih baik untuk ditahan. Ekspresif  tidak harus eksesif. Terbuka bukan berarti bicara apa saja. Komunikasi pada akhirnya merupakan upaya mempertimbangkan dampak perbincangan: apa konstruktif atau sebaliknya?

Itu pulalah yang ditekankan agama. Keselamatan jiwa, perdamaian dan keutuhan keluarga adalah segalanya. Komunikasi tak boleh merusaknya, tapi justru harus membangunnya. Karena itulah, dalam kondisi tertentu, bahkan berbohong pun diperbolehkan, demi nyawa dan keluarga, sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadist:”Dan aku (Ummu Kultsum) tidak mendengar bahwa beliau memberikan rukhsoh (Keringanan) dari dusta yang dikatakan oleh manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang suami kepada istrinya, dan pembicaraan istri kepada suaminya.”

Ini bukan ajakan untuk menutup diri, tetapi seni untuk memahami orang. Bahwa ada perasaan orang rentan. Bahwa ada tata nilai yang akan menseleksi informasi: mana yang bisa diterima, mana yang tidak. Perbincangan meski atas nama keterusterangan, jika tak tepat suasana dan konteksnya, hanya akan menimbulkan luka. Bahkan untuk masalah yang (Hal-47) nampak sepele.

Tersebutlah seorang pemuda yang akan melangsungkan pernikahan, mengirimkan sebuah pesan singkat (sms) pada calon istrinya,”Semangat saya untuk menikah tak sebesar saat masih mahasiswa dulu.” Pesan ini mungkin menggambarkan kejujuran perasaan, tetapi cukuplah membuat si penerima gundah gulana. Bagaimana tidak, setelah semua proses perkenalan dan lamaran, bahkan setelah perempuan itu menolak pinangan laki-laki lain, sang terpilih justru melemahkan semangatnya. Terlepas dari  maksud sesungguhnya dari pesan itu, kasus ini menandaskan sebuah pelajaran: bahwa banyak hal yang tak perlu diucapkan secara verbal.

Tata nilai menentukan penerimaan kita pada sebuah informasi. Apresiasi kita pada sebuah kejujuran seringkali tidak sepadan dengan penerimaan kita pada realitas kesalahan orang. Kita tentu senang pasangan kita jujur, tetapi apakah kita bisa menerima sewajarnya setelah yang bersangkutan membeberkan segala aibnya? Siap jugakah memahami isi hati dia yang sesungguhnya? Tidak mudah mengabaikan aib, apalagi bagi kita yang sering menilai orang dengan kacamata ‘kesempurnaan’

Sesungguhnya absurd ide sebuah reality show yang menawarkan solusi bagi pasangan bermasalah. Setelah semua pihak membeberkan aib masing-masing, setelah semua mengeluarkan isi hati yang sesungguhnya, sehingga yang muncul caci maki dan saling menjelekkan, masihkah mereka berharap solusi? Bukannya memadamkan api, tetapi justru menambahkan minyak pada api.

Berterus-terang tak berarti memamerkan aib kita. Cukuplah hadist riwayat Abu Hurairah berikut menjadi renungan:

“Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:’Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seseorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu ia berkata (pada temannya): ‘Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu.” Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia menyingkap tirai penutup Allah darinya.

Keterusterangan yang tidak pada tempatnya hanya akan merusak alur drama kehidupan yang semestinya indah. Kalau kita bisa memilih peran yang protagonis, kenapa harus memilih antagonis? Kalau kita bisa menyenangkan orang, kenapa pilih yang menyusahkannya? Kalau kita mampu membesarkan hati orang, kenapa justru kita jatuhkan? Semoga hidup kita menjadi terang terus.

( Sekretariat Masjid Arfaunnas, Universitas Riau, Ahad, 02 Mei 2010, 04:45:17WIB)

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 220 Th.11, Shafar 1431, 28 Januari 2010

[2] Edi Santoso. Dosen dan Master dalam bidang komunikasi, mengambil Tesis tentang jurnalisme kontemplasi dalam mengulas kemanusiaan, antara Tarbawi dan Tempo.

[3] Diketik Ulang Eddy Syahrizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar