16 TERUS
TERANG TAK SELALU TERANG TERUS[1][2][3]
(Hal-46) Benar
keterusterangan atau keterbukaan (self disclosure) adalah modal penting
dalam membangun hubungan antarpersona. Setidaknya itulah kesimpulan para
teorisi psikologi maupun komunikasi. Jika seseorang membuka diri, teman
komunikasinya akan melakukan yang sama. Semakin terbuka, makin hangat dan
akrab. Tapi ceritanya menjadi lain jika keterbukaan ini kebablasan. Jika
keterusterangan berarti membuka segalanya, bahkan termasuk aib sekalipun.
Ada gejala salah kaprah dalam memaknai keterusterangan,
setidaknya bagi sebagian orang. ‘Terusterang’ dimaknai menceritakan apa saja
yang dilakukan atau dirasakannya pada orang-orang tertentu. Bahkan ada perasaan
mulia untuk melakukannya, terutama pada pasangannya. Alkisah, sepasang suami
istri membuat komitmen bersama untuk jujur, menceritakan segala tindakan yang
pernah dilakukan meski itu sebuah keburukan, termasuk masa lalu sebelum mereka
menikah. Awalnya mereka membanggakan tradisi itu:”Kami adalah pasangan yang paling
fair di dunia ini.” Anehnya seiring dengan perjalanan waktu, hubungan mereka
bukan tambah hangat, tetapi sebaliknya. Deretan aib yang mereka beberkan satu
sama lain pada akhirnya menjadi ganjalan hubungan itu.
Ini bukan ajaran untuk berbohong, tetapi seni
mengendalikan omongan. Ada bagian yang harus disampaikan, tetapi ada juga
bagian yang lebih baik untuk ditahan. Ekspresif
tidak harus eksesif. Terbuka bukan berarti bicara apa saja. Komunikasi
pada akhirnya merupakan upaya mempertimbangkan dampak perbincangan: apa
konstruktif atau sebaliknya?
Itu pulalah yang ditekankan agama. Keselamatan jiwa,
perdamaian dan keutuhan keluarga adalah segalanya. Komunikasi tak boleh
merusaknya, tapi justru harus membangunnya. Karena itulah, dalam kondisi
tertentu, bahkan berbohong pun diperbolehkan, demi nyawa dan keluarga, sebagaimana
yang dinyatakan dalam sebuah hadist:”Dan aku (Ummu Kultsum) tidak mendengar
bahwa beliau memberikan rukhsoh (Keringanan) dari dusta yang dikatakan oleh
manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang
suami kepada istrinya, dan pembicaraan istri kepada suaminya.”
Ini bukan ajakan untuk menutup diri, tetapi seni untuk
memahami orang. Bahwa ada perasaan orang rentan. Bahwa ada tata nilai yang akan
menseleksi informasi: mana yang bisa diterima, mana yang tidak. Perbincangan
meski atas nama keterusterangan, jika tak tepat suasana dan konteksnya, hanya
akan menimbulkan luka. Bahkan untuk masalah yang (Hal-47) nampak sepele.
Tersebutlah seorang pemuda yang akan melangsungkan
pernikahan, mengirimkan sebuah pesan singkat (sms) pada calon
istrinya,”Semangat saya untuk menikah tak sebesar saat masih mahasiswa dulu.” Pesan
ini mungkin menggambarkan kejujuran perasaan, tetapi cukuplah membuat si
penerima gundah gulana. Bagaimana tidak, setelah semua proses perkenalan dan
lamaran, bahkan setelah perempuan itu menolak pinangan laki-laki lain, sang
terpilih justru melemahkan semangatnya. Terlepas dari maksud sesungguhnya dari pesan itu, kasus ini
menandaskan sebuah pelajaran: bahwa banyak hal yang tak perlu diucapkan secara
verbal.
Tata nilai menentukan penerimaan kita pada sebuah
informasi. Apresiasi kita pada sebuah kejujuran seringkali tidak sepadan dengan
penerimaan kita pada realitas kesalahan orang. Kita tentu senang pasangan kita
jujur, tetapi apakah kita bisa menerima sewajarnya setelah yang bersangkutan
membeberkan segala aibnya? Siap jugakah memahami isi hati dia yang
sesungguhnya? Tidak mudah mengabaikan aib, apalagi bagi kita yang sering
menilai orang dengan kacamata ‘kesempurnaan’
Sesungguhnya absurd ide sebuah reality show yang
menawarkan solusi bagi pasangan bermasalah. Setelah semua pihak membeberkan aib
masing-masing, setelah semua mengeluarkan isi hati yang sesungguhnya, sehingga
yang muncul caci maki dan saling menjelekkan, masihkah mereka berharap solusi?
Bukannya memadamkan api, tetapi justru menambahkan minyak pada api.
Berterus-terang tak berarti memamerkan aib kita. Cukuplah
hadist riwayat Abu Hurairah berikut menjadi renungan:
“Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:’Semua
umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat
maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat
terang-terangan adalah bila seseorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah
telah menutupi dosanya, lalu ia berkata (pada temannya): ‘Hai Fulan! Tadi malam
aku telah berbuat ini dan itu.” Allah telah menutupi dosanya ketika di malam
hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari
ia menyingkap tirai penutup Allah darinya.
Keterusterangan yang tidak pada tempatnya hanya akan
merusak alur drama kehidupan yang semestinya indah. Kalau kita bisa memilih
peran yang protagonis, kenapa harus memilih antagonis? Kalau kita bisa
menyenangkan orang, kenapa pilih yang menyusahkannya? Kalau kita mampu
membesarkan hati orang, kenapa justru kita jatuhkan? Semoga hidup kita menjadi
terang terus.
( Sekretariat Masjid Arfaunnas, Universitas Riau, Ahad,
02 Mei 2010, 04:45:17WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar